Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERADABAN PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI BANI ABBASIYYAH LENGKAP

PERKEMBANGAN PERADABAN PERIODE ISLAM KLASIK
MASA PEMERINTAHAN DINASTI BANI ABBASIYYAH (750 M – 1258 M)

Bani Abbasiyyah yang berkuasa sejak tahun 132-656 H/750-1258 M, merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. keberhasilan menciptakan pemikiran kreatif dan menghasilkan karya yang monumental dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, peradaban Islam, social bidaya, dan sebagainya, tidak perna lepas dari kebijakan-kebijakan khalifah dan peran para tokoh. Para tokoh inilah yang menjadi ujung tombak didalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta kemauan social budaya.

Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyyah di dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, termasuk kemajuan dalam bidang social dan budaya. Untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan social budaya yang terjadi pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah, berikut uraiannya.

1. Kemajuan dalam Bidang Sosial Budaya

Selama masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah (750-1258 M), banyak perkembangan yang terjadi, diantaranya adalah perkembangan bahkan kemajuan dalam bidang social budaya. Diantara perkembangan dalam bidang social budaya adalah Seni Bangunan dan Arsitektur, yang meliputi:

a) Seni Bangunan dan Arsitektur Masjid

Masjid merupakan bangunan tempat ibadah umat Islam yang merupakan wakil paling menonjol dari arsitektur Islam. oleh karena itu, masjid merupakan seni arsitektur Islam yang tidak ada tandingannya. Asrsitektur Islam yang berkembang pada masa Abbasiyyah masih mengacu pada perkembangan seni arsitektur Islam pada masa-masa sebelumnya, yakni pada masa nabi saw, Khulafaur Rasyidin dan masa Bani Umayyah.

Salah satu masjid yang didirikan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyyah adalah bangunan masjid Samarra, di Bagdad. Masjid ini sangat indah yang mewakili keindahan arsitektur pada zamannya. Masjid ini dilengkapi oleh Sahn, sebuah lengkungan yang menyerupai bentuk piring. Sekeliling pinggir sahn dilengkapi dengan serambi-serambi. Pada setiap sudut masjid didirikan mercu berbentuk bulat yang terbuat dari batu bata. Umumnya masjid tidak menggunakan daun pintu, begitu juga masjid samarra. Pintu-pintu terbuka ini berujung pada satu titik. Dengan demikian, terlihat barisan pintu yang berbentuk kerucut.

Hal penting lainnya dari gaya dan seni arsitektur Masjid Samarra adalah tiang-tiang yang dipasang beratap lengkung. Tiang-tiang tersebut dibangun dengan menggunakan batu bata. Tiang-tiang yang dibangun dari batu bata itu berbentuk segi delapan dan didirikan atas dasar segi empat. Kemudian dasar-dasar ini ditopang oleh tiang-tiang dari marmer bersegi delapan. Kemudian disambungkan ke bagian lain dengan mempergunakan logam atau besi berbentuk lonceng. Masjid ini merupakan bangunan yang memiliki seni arsitektur sangat megah pada zamannya.

Selain masjid Samarra yang memiliki seni arsitektur bangunan yang memiliki seni arsitektur bangunan yang luar biasa, Masjid Ibnu Thulun juga memiliki kesitimewaan dari segi seni bangunan atau arsitekturnya. Masjid ini didirikan pada tahun 876 M oleh Ahmad bin Thulun, salah seorang penguasa di wilayah Mesir.

b) Seni Bangunan Kota

Peradaban Islam mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah (750-1258 M).  Seni bangunan Islam yang pada mulanya hanya sederhana yang menjelma dalam bentuk masjid, kemudia berangsur-angsur merambah ke seni bangunan lain, setelah umat Islam memperoleh pengetahuan dan teknik dari tenaga ahli dari wilayah-wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Islam.

Meskipun begitu, seni bangunan Islam masih mempunyai ciri khas dan gayanya tersendiri, yang terwujud dalam bentuk pilar, lengkung kubah, hiasan lebah bergantung (muqarnashat) yang menonjol bersusun di depan masjid dan di menara tempat adzan ataupun di puncak pilar. Pembangunan kota-kota baru dan pembaharuan kota-kota baru di seluruh wilayah pemerintahan dinasti Bani Abbasiyyah, telah membuka jalan bagi pembangunan gedung-gedung, istana, masjid dan sebagainya. Diantara sekian banyak kota yang dibangun dalam masa pemerintahan dinasti Abbasiyyah adalah kota Bagdad, yang dibangun oleh Abu Ja’far Al Mansur (136-158 H/754-775 M).  Tempat yang dipilih untuk membangun kota itu adalah lokasi di tepi sungai Eufrat (Furat) dan Tigris (Dajlah). Pembangunan ini diarsiteki Hajjaj bin Arthah dan Amran bin Wadldlah, dua orang arsitek terkenal pada saat itu. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pembangunan kota ini sekitar 100.000 orang.

Arsitektur kota Bagdad berbentuk bundar, gaya baru dari seni bangunan kota Islam. di pusat kota, dibangun istana khalifah dan masjid jami’. Di sekeliling istana dan masjid terdapat alun-alun, selain ada asrama pengawal, rumah komandan pengawal dan rumah kepala polisi. Di sekitar pemukiman itu, barulah dibangun rumah-rumah untuk para putra khalifah dan kerabatnya, para pegawai dan para inang pengasuh istana. Setelah itu, barulah dibangun istana-istana para menteri dan pembesar Negara lainnya.

Di sekeliling kota, dibangun pagar tembok yang sangat kuat dan tinggi dengan empat pintu masuk dari empat penjuru. Selain tiu, kota dihiasi dan dilengkapi dengan taman-taman bunga, kolam pemandian, ribuan masjid dan berbagai tempat rekreasi. Selain itu, pembagian kota dilakukan secara teratur, ada daerah perumahan, daerah pasar, industry dan sebagainya. Masing-masing daerah memiliki perangkat yang dibutuhkan bagi pembangunan dan pengembangan daerah tersebut.

Istana yang dibangun oleh khalifah al Mansur di pusat kota bernama Qasru al Dzahab (Istana keemasan) yang luasnya sekitar 160.000 hasta per segi. Sedang masjid jami’ di depannya memiliki luas areal sekitar 40.000 hasta persegi. Istana dan masjid tersebut merupakan symbol pusat kota. Dari setiap sudut perempatannya terdapat jalan raya utama kea rah luar kota. Di kiri kanan jalan tersebut dibangun gedung-gedung indah dan bertingkat.

Dalam waktu yang relative singkat, Bagdad menjadi kota yang ramai dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat dari seluruh dunia. Oleh karena itu, sekitar tahun 157 H, khalifah al Mansur membangun istana baru di luar kota yang diberi nama Istana Abadi (Qashrul Khuldi). Khalifah al Mansur membagi kota Bagdad menjadi empat daerah, yang masing-masing daerah dikepalai oleh seorang naib amir (wakil gebernur) dan tiap-tiap daerah diberi hak mengurusi wilayah sendiri yaitu daerah otonom.



2. Perkembangan dan Kemajuan Bahasa dan Sastra

Perkembangan seni bahasa dan kesusastraan, baik puisi maupun prosa mengalami kemajuan yang cukup berarti. Hal itu disebabkan karena bahasa dan kesustraan merupakan salah satu perhatian besar para penguasa Bani Abbas dan juga para ahli bahasa dan seniman. Untuk mengetahui hal tersebut, berikut uraian singkatnya:

a) Perkembangan Puisi

Berbeda dengan masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah yang belum banyak melahirkan sastrawan yang membawa aliran baru. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, terjadi perubahan dan perkembangan puisi dengan aliran baru dalam sajak-sajaknya, baik isi, uslub, tema ataupun sasarannya, sehingga dalam hal-hal tersebut para sastrawan pada zaman pemerintahan Bani Abbas mengungguli keterampilan para sastrawan sebelumnya.

Para penyair pada masa pemerintahan bani Umayyah, masih kental dalam mempertahankan keaslian warna Arabnya, sehingga mereka menghindari filsafat, bahkan apa saja yang bukan asli Arab. Sedangkan para sastrawan pada zaman pemerintahan Bani Abbas, telah melakukan perubahan kebiasaan tersbut. Mereka telah mampu mengombinasikan dengan sesuatu yang bukan berasal dari tradisi Arab. Oleh karena itu, pada masa ini sajak-sajak memiliki ciri khas, seperti:

  • Penggunaan kata uslub dan ibarat baru
  • Pemakaian pengertian-pengertian baru karena mereka memiliki imajinasi yang cukup luas dan kemampuan menyadur dari sumber lain
  • Pemujaan yang berlebihan terhadap sesuatu
  • Pengutaraan sajak lukisan yang hidup
  • Pemakaian sajak ratapan
  • Penyusupan ibarat filsafat untuk memperkembang ilmu akal
  • Penggunaan keindahan kata (badi’)
  • Pengutaraan cinta kasih
  • Perombakan adat kebiasaan lama dalam persajakan
  • Kelahiran kritikus sastra dalam zaman ini

Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa factor. Factor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Terjadinya perubahan corak dan tata nilai kehidupan
Terjadinya evolusi kehidupan material
Terjadi perluasan makna kebangsaan yang tela melampaui batas-batas jazirah Arabia
Pengaruh kebudayaan asing, terutama kebudayaan Persia
Dukungan kuat dari para khalifah dan para pembesar istana lainnya

Oleh karena itu, wajar kalau kemudian pada masa pemerintahan bani Abbas banyak bermunculan penyair terkenal. Diantara mereke sebagai berikut:

  • Abu Nuwas (145-198 H) nama aslinya adalah hasan bin Hani’. Seorang penyair naturalis yang sangat perindu, pelopor pembawa aliran baru dlam dunia sastra Arab Islam.
  • Abu ‘Athahiyah (130-211 H). Nama aslinya adalah Ismail bin qasim bin Suwaid bin Kisan. Penyair ulung pembawa perubahan, melepaskan diri dari ikatan-ikatan lama, menciptakan gaya dan pengertian baru dalm dunia sastra.
  • Abu Tamam (wafat 232 H). Nama aslinya adalah Habib bin Auwas ath Tha’i. penyair terkenal dengan ratapannya. Memiliki kemampuan menciptakan ibarat yang dalam dan menyusun uslub yang menawan.
  • Da’bal al Khuza’I (wafat 246 H). Nama aslinya adalah Da’bal bin Ali Razin dari Khza’ah. Penyair besar yang berwatak kritis. Hampir semua karya sastra dan sastrawannya mendapat kritikan tajam dari penyair ini.
  • Al Buhtury (206-285 H). Nama aslinya adalah Abu Ubadah Walid al Buhtury al Quthhany ath Tha’i. penyair pemuja dan pelukis alam mempesona
  • Ibnu Rumy (221-283 H). Nama aslinya adalah Abu Hasan Ali bin Abbas. Penyair yang paling berani menciptakan tema-tema baru dan paling mampu mengubah sajak-sajak panjang.
  • Al Mutanabby (303-354 H). Nama aslinya adalah Abu Thayib Ahmad bin Hasin al Kufy. Penyair istana yang hasu hadiah, pemuja yang paling handal
  • Al Mu’arry (363-449 H). Nama aslinya adalah Abu A’la al Mu’arry. Penyair berbakat yang memiliki pengetahuan luas dan menjadi kesayangan ulama para menteri dan para pejabat pemerintahan.

Selain para penyair yang telah disebutkan di atas, masih banyak penyair yang muncul pada masa pemerintahan Bani Abbas yang memiliki andil cukup besar di dalam perkembangan ilmu bahasa dan kesusastraan Islam.

b) Perkembangan Prosa

Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyyah, telah terjadi perkembangan yang sangat menarik dalam bidang prosa. Hal itu disebabkan antara lain karena dukungan para penguasa dan kemampuan personal yang dimiliki masing-masing sastrawan. Banyak buku sastra dan novel, riwayat, kumpulan nasihat dan uraian-uraian sastra yang dikarang atau disalin dari bahasa asing. Diantara tokoh dan pengarang terkemukan pada masa pemerintahan DInasti Abbasiyyah adalah sebagai berikut:

1) Abdullah bin Muqaffa (wafat tahun 143 H)

Ia telah merintis jalan baru bagi para pengarang prosa. Abdullah telah mengarang berbagai buku prosa, diantaranya adalah Kalilah wa Dimnah. Kitab ini terjemahan dari bahasa sansekerta, karya seorang filusuf India bernama Baidaba. Karya ini berisi tentang kisah binatang dan burung yang berintikan filsafat akhlak untuk membina budi pekerti dan membangun jiwa. Ia menyalin ke dalam Bahasa Arab dengan bagus sekali. Karya Abdullah kedua adalah Kitabul Adabish Shagir, yang berisikan tentang akhlak, filsafat dan pergaulan. Karya lainnya adalah Risalah fil Akhlak yang berisi tentang akhlak.

2) Abdul Hamid al Katib

Ia dipandang sebagai pelopor seni mengarang surat, sehingga cara-caranya mengarang surat kemudian menjadi aliran yang memiliki banyak pengikut.

3) Al Jahidh (wafat 255 H)

Nama lengkapnya adalah Abu Usman Umar bin Bahar bin Mahbub al Kanany Al Lisy. Ia pengarang prosa angkatan kedua dlam zaman Dinasti bani Abbasiyyah. Ia telah mengarang banyak buku, diantaranya adalah Kitabul Bayan wa Tibyan, Kitabul Hayawan, Kitabul Mahasin wa Adidad, Kitabul Bukhala, Kitabut Taj. Semua karya ini memiliki nilai sastra tinggi, sehingga menjadi bahan rujukan dan bahan bacaan bagi para sastrawan kemudian.

4) Ibnu Qutaibah (276 H)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al Dinawary. Lahir di Kufah pada tahun 213 H. ia dikenal sebagai ilmuwan dan sastrawan yang sangat cerdas dan memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang bahasa dan kesusastraan , berani dan tegas. Ia pengarang pertama yang berani melaukan kritik sastra. Karyanya yang terkenal antara lain adalah Uyunul Akhbar, Kitabul Ma’arif, Al Imamah was Siyasah, Adabul Katib dan lain sebagainya.

5) Ibnu Abdi Rabbih (wafat 328 H)

Nama lengkapnya adalah Abu Umar Ahmad bin Muhammad bin Abdu Rabbih al Qurthuby. Ia seorang ulama yang memiliki pengetahuan tentang manusia, penyair berbakat  yang memiliki kecenderungan ke sajak drama, sesuatu yang sangat langka dalam tradisi sastra Arab. Karya terkenalnya adalah al Aqdul Farid, semacam ensiklopedia Islam yang memuat banyak ilmu pengetahuan Islam.

3. Perkembangan Seni Musik

Pada umumnya orang Arab memiliki bakat music, sehingga seni suara atau seni music menjadi suatu keharusan bagi mereka sejak zaman Jahiliyah. Setela mereka masuk Islam, bakat music terus berkembang dengan jiwa dan semangat baru. Al Qur’an dengan bahasanya yang sangat indah memberi nafas baru bagi music Arab, bahkan mendorong mereka untuk mengembangkan bakat musiknya. Hal ini terus berkembang pada masa Bani Umayyah hingga Abbasiyyah. 

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyyah, music Islam mengalami masa kejayaan. Karya dan pemikiran seniman tersebut merupakan bentuk dari rasa cinta mereka terhadap Islam. Hal itu diawali dari:

a. Penyusunan Kitab Musik

Kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh umat Islam ketika itu tidak hanya terbatas dlam bidang ilmu pengetahuan, sains dan filsafat, juga mencakup karya-karya music. Karya music yang mereka terjemahkan menamba wawasan pengetahuan mereka tentang music, sehingga lambat laun mereka mampu menciptakan karya music Islam. bahkan dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka mampu menciptakan karya baru dan menyempurnakan karya lama. Sehingga seni music ini menjadi khazanah peradaban umat Islam. Diantara para pengarang karya kitab music adalah sebagai berikut:

  1. Yunus bin Sulaiman (wafat tahun 765 M ). Beliau adalah pengarang teori music pertama dalam Islam. karyanya dalam bidang music sangat bernilai, sehingga banyak musikus Eropa yang meniru gaya music yang diciptakan oleh Yunus bin Sulaiman.
  2. Khalil bin Ahmad (wafat 791 M). Beliau mengarang buku-buku teori music mengenai not dan irama. Karya Khalil kemudian dijadikan sebagai bahan rujukan bagi sekolah-sekolah tinggi music di seluruh dunia.
  3. Ishak bin Ibrahim al Mousuly, wafat tahun 850 M. ia telah berhasil memperbaiki music jahiliyah dengan system baru. Buku musiknya yang terkenal adala kitabul Ilhan wal Ghanam (buku not dan irama). Karena begitu terkenalnya Ishak, dia mendapat gelar Raja Musik (Imamul Mughoniniyin).
  4. Hunain bin Ishak (wafat tahun 873 M). ia tela berhasil menerjemahkan buku-buku teori music karangan Plato dan Aristoteles yang berjudul Problemata dan De Anima dan karangan Gelen, De Voe.
  5. Al Farabi, selain sebagai seorang filusuf, ia juga dikenal sebagai seorang seniman dan ahli music. Karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan menjadi bahan rujukan bagi para seniman dan pemusik Eropa

b. Pendidikan Musik

Para khaifah dan pembesar istana Bani Abbas memiliki perhatian yang sangat besar terhadap music. Untuk kepentingan itu, banyak didirikan lembaga pendidikan music. Sekolah music yang paling baik adalah sekolah music yang didirikan oleh Sa’aduddin Mukmin (wafat 1294 ). Karyanya yang berjudul Syarafiya menjadi bahan rujukan dan dikagumi masyarakat music di dunia Barat.

Diantara latar belakang penyebab maraknya lembaga pendidikan music bermunculan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah adalah karena kemampuan bermain music menjadi salah satu syarat untuk menjadi pegawai atau untuk memperoleh pekerjaan di lembaga pemerintahan.

4. Kemajuan dalam Bidang Pendidikan

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyya, kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan yang gemilang. Sebagian khaifa Abbasiyya merupakan orang berpendidikan. Sebenarnya, pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah kegiatan pendidikan tela tersebar di wilayah muslim, tapi baru pada masa pemerintahan Bani Abbasiyyah bidang pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan pesat. Pada masa itu, mayoritas umat Islam mampu membaca dan menulis, mereka juga dapat memahami al Qur’an. Pada masa ini, pendidikan tingkat dasar diselenggarakan di masjid-masjid, dimana al Qur’an merupakan bahan rujukan wajib.

Selain itu, terdapat juga kegiatan pendidikan dan pengajaran di rumah-rumah penduduk dan di tempat-tempat umum umum lainnya, misalnya maktab. Terdapat juga sejumlah lembaga sekolah masjid-masjid, seperti Zawiyah, Hanaqah, dan lain-lain. Menurut keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan  sebagai lembaga pendidikan dan pengajarab tingkat dasar. 


Pendidikan pada masa pemerintahan Bani Abbas tid hanya diikuti oleh anak-anak pada tingkat dasar saja, juga terdapat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah dan madrasah Nidzamiyah yang tidak hanya ada di Bagdad, juga di Persia. Madrasah ini didirikan oleh Nizam al Mulk, seorang wazir Sultan Saljuk antara tahun 1065-1067 dan merupakan pusat lembaga pendidikan agama yang terbesar pada masa Dinasti Abbasiyyah.

Kurikulum pendidikan pada tingkat dasar terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadis, prinsip-prinsip dasar matematika dan pelajaran Syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran tafsir al Qur’an, pembahasan kandungan al Qur’an, sunnah Nabi, Fikih dan Ushul Fiqh, kajian ilmu kalam (Teologi), ilmu Mantiq (retorika) dan kesusastraan. Kaum terpelajar tingkat mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri di bidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, music dan kedokteran.

5. Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan

Dinasti Bani Abbasiyyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih, merupakan salah satu Dinasti Islam yang sangat peduli di dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Upaya pengembangan ini mendapat tanggapan atau respons yang sangat baik dari para ilmuwan. Sebab, pemerintah Dinasti Bani Abbasiyyah telah menyiapkan segalanya untuk kepentingan tersebut. Diantara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah, seperti Baitul Hikmah, Majelis Munazdaroh dan pusat-pusat studi lainnya seperti Zawiyah, Hanqah, Kuttab dan lain-lain. Bahkan, perguruan tinggi berupa madrasah Nizamiyah. 

Selain itu, para ilmuwan digaji sangat tinggi dan kebutuhan hidup mereka dijamin Negara, sehingga mereka melakukan riset sangat serius tanpa memikirkan hal-hal lain di luar riset dan penulisan karya-karya mereka. Bahkan khaifah Bani Abbasiyyah, meminta siapa saja termasuk para pejabat dan tentara yang kebetulan memasuki wilayah baru, untuk mencari naskah-naskah yang berisi ilmu pengetahuan dan peradaban untuk dibeli kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Dari proses inilah lambat laun umat Islam mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang menjadi bahan rujukan bagi ilmuwan modern. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Abbasiyyah secara lebih spesifik akan dibahas pada artikel selanjutnya. Semoga artikel ini dapat bermanfaat, amin.

Sumber refrensi:
  • Subchi, Imam. 2014. Sejarah Kebudayaan Islam; Kurikulum 2013. Semarang: PT Karya Toha Putra
  • Kementrian Agama RI. 2014. Buku Siswa; Sejarah Kebudayaan Islam kelas X; Kurikulum 2013. Jakarta: Kemenag RI
  • MGMP PAI Madrasah ALiyah. 2018. Modul Sejarah Kebudayaan Islam kelas X



Post a Comment for "PERADABAN PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI BANI ABBASIYYAH LENGKAP"