PROSES PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA DINASTI ABBASIYYAH
Tumbuhnya ilmu pengetauan dan peradaban pada masa Dinasti Abbasiyyah terjadi setelah perluasan wilayah secara besar-besaran. Faktor yang paling dominan mendorong pertumbuhan tersebut adala kebijakan dari khalifah Abu Ja’far al Mansur, bahwa yang harus menjadi khalifah harusla orang yang emncintai dan mengembangkan ilmu pengetauan. Suasana keilmuan memang diciptakan oleh khalifah dengan menyediakan segala fasilitas penunjang seperti lembaga pendidikan, perpustakaan serta tempat-tempat istirahat dan mukim disediakan untuk siapa saja yang mau belajar ilmu pengetahuan. Ulama dari berbagai disiplin ilmu didatangkan untuk mengajari orang-orang Islam yang ingin belajar. Selain itu, terdapat kegiatan penerjemahan buku-buku dari bahasa lain dan kegiatan penulisan buku untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan. Secara lebih jelas, ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa Dinasti Abbasiyyah akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
PROSES PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
PADA MASA DINASTI ABBASIYYAH
Untuk mencapai peradaban ilmu pengetahuan hingga sampai masa keemasannya, Dinasti Abbasiyyah melalakukan berbagai upaya untuk mengembangkannya. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain sebagai berikut:
1. Pendirian Perpustakaan dan Pusat-Pusat Ilmu Pengetahuan
Selain Abu Ja’far al Mansur, Harun ar rasyid juga merupakan khalifah Dinasti Abbasiyyah yang memiliki peranan besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia mendirikan Baitul Hikmah sebagai perpustakaan terbesar di dunia pada waktu itu. Perpustakaan tersebut memiliki koleksi buku-buku sekitar 100.000 judul buku. Kegiatan lain yang berjalan di Baitul HIkmah yaitu adanya kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu pengetahuan. Ketika khalifah Harun ar Rasyid wafat. Baitul Hikmah fungsinya bertambah sebagai lembaga perguruan tinggi, perpustakaan dan lembaga penelitian.
Perkembangan Baitul Hikmah menjadi pusat transformasi refrensi ilmu pengetahuan dan banyak dijadikan literature oleh para ilmuwan, karena memiliki banyak karya-karya ulama terkenal dan menjadi jalur lau lintas ilmu pengetahuan antar negara di belahan dunia.
2. Kegiatan Menyusun Buku Ilmiah
Proses penyusunan buku pada masa dinasti Abbasiyyah melalui tiga tahap. Tahap pertama, mencatat ide atau percakapan dalam suatu halaman kertas dua rangkap, asli dan salinannya. Tahap kedua, tahap pertengahan berupa pembukuan ide-ide yang serupa atau hadis-hadis Rasulullah saw dalam satu buku. Pada tingkat inilah hokum-hukum fikih maupun hadis-hadis dihimpun dalam satu buku tanpa tema. Sira nabi disusun dan tafsir al Qur’an ditulis dalam lembaran-lembaran yang tidak sistematis. Tahap ketiga, tahap yang paing tinggi yaitu tingkat penyusunan yang lebih halus daripada kerja pembukuan, karena di tingkat inilah segala yang sud dicatat, diatur dan disusun dalam bab-bab tertentu. Tingkatan ini tela dicapai kaum muslimin pada masa pemerintahan Abbasiyyah periode pertama. Sebelumnya para imam berbicara menurut hafalan mereka ataupun meriwayatkan suatu ilmu dalam lembaran-lembaran yang belum teratur.
Pada tahun 143 H para ilmuwan berhasil menyusun hadis, fikih, tafsir, buku-buku bahasa Arab dan sejarah pada lembaran-lembaran yang berbeda-beda. Penyusun kitab-kitab yang terkemuka pada zaman tersebut diantaranya Imam Malik, Ibnu Ishaq dan Imam Abu Hanifah. Imam Malik adalah ulama yang menyusun kitab a Muwatha’. Ibnu Ishaq menyusun kitab Sira Nabi dan Abu Hanifah menyusun kita Fikih dan ijtihadnya. Khalifah yang berperan besar dalam gerakan penyusunan kitab-kitab tersebut adalah khalifah Abu Ja’far a Mansur.
3. Gerakan Penerjemahan Buku-buku Berbahasa Asing
Perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat didukung oleh adanya penerjemahan buku dari beberapa bahasa asing ke bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemakan tersebut diantaranya buku-buku dari bahasa Sansekerta, Yunani dan Suryani. Pada tahun 726 M, khalifah al-Mansur mencanangkan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Beberapa nama penerjemah yang terkenal pada masa tersebut, antara lain:
- Yahya bin Khalid bin Barmak, ia menerjemahkan Illiad karya Homer
- Bakhtisyif bin Juris dan Gibril, murid Bakhtisyu’
- Al-Hajjaj bin Matar (786-833 M). Ia orang yang pertama menerjemakan buku Element, karya Enclide dan merupakan salah satu diantara beberapa orang yang pertama kali menerjemakan hasil karya Ptolomeus (Filsuf Yunani).
- Abdullah bin Muqaffa’ (757 M), seorang Majusi yang kemudian memeluk Islam, menerjemahkan Kalilah w a Dimnah yang berbahasa Sansekerta ked lam bahasa Persia, selanjutnya ia mentransfer ke dalam bahasa Arab.
- Jurjis Bakhtisyu’, seorang Nasrani yang ali dalam bidang kedokteran. Ia akhirnya menjadi dokter pribadi khalifah al-Mansur.
- Sindhata, seorang berkebangsaan India. Ia memperkenalkan ilmu fala dan membantu menerjemakan buku-buku matematika ke dalam bahasa Arab.
Pada masa Dinasti Abbasiyyah gerakan penerjemahan buku hanya berlangsung selama tiga fase sebagai berikut:
- Fase pertama (Al-Mansur sampai Harun Ar-Rasyid), yaitu menerjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq
- Fase kedua (Al-Mamun taun 300 H), yaitu menerjemakan buku-buku dalam bidang filsafat dan kedokteran.
- Fase ketiga (setelah tahun 300 H) berbagai bidang ilmu pengetahuan sudah banyak diterjemahkan dan semakin berkembang. Hal tersebut didukung dengan adanya pembuatan kertas sebagai penunjang proses penerjemakan.
Sumber :
Sri Mulyani. ___________. Sejarah Kebduayaan Islam untuk MA dan yang sederajat kelas XI. Surakarta : Putra Nugraha
Post a Comment for "PROSES PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA DINASTI ABBASIYYAH"